Wednesday, November 26, 2008

Media NKRI Angkat Bicara Tentang Masa Lalunya

Menyingkap Misteri, Membangun Empati


KO M PA S / P R I YO M B O D O / Kompas Images

Senin, 16 Juni 2008 | 03:00 WIB
BUDIAWAN
Sejarawan Ong Hok Ham (almarhum) pernah melontarkan skeptisismenya terhadap upaya alternatif menemukan dalang Gerakan 30 September 1965 atau G30S. Kesangsiannya ini merupakan respons atas silang pendapat mengenai dalang di balik penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat pada 30 September 1965.
Silang pendapat itu muncul tidak lama setelah Soeharto jatuh pada Mei 1998. Tentu bukan maksud Ong untuk membela versi resmi rezim Orba yang secara gampangan menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang G30S. Kesangsian Ong mencerminkan posisinya sebagai sejarawan profesional, yang berpegang pada prinsip bahwa sejarah tidak mungkin ditulis tanpa bukti yang memadai.
Menyangkut G30S, bukti-bukti yang tersedia sangat jauh dari mencukupi karena banyak pelaku yang terlibat dalam gerakan itu, yang notabene bisa menjadi saksi kunci, telah dibunuh oleh Angkatan Darat, tidak lama setelah peristiwa itu terjadi.
Buku John Roosa, dosen sejarah di University of British Columbia, Kanada, yang merupakan hasil penelitian selama lima tahun ini, seperti hendak menjawab skeptisisme dan pesimisme semacam itu. Bukan dengan menyodorkan sebuah jawaban pasti atas pertanyaan siapa dalang G30S, tetapi dengan menunjukkan bahwa pertanyaan itu memang tidak akan pernah terjawab karena asumsinya keliru secara faktual.
Pertanyaan siapa dalang G30S mengasumsikan bahwa G30S merupakan sebuah gerakan yang terorganisasi secara rapi, dengan struktur hierarki wewenang dan pembagian tugas yang jelas serta ada pucuk pimpinan tunggal.
Menurut Roosa, asumsi ini keliru karena G30S kenyataannya jauh dari gambaran seperti itu. Sebagai sebuah operasi militer rahasia yang melibatkan beberapa pemimpin teras PKI, G30S merupakan sebuah gerakan yang kompleks, ruwet, dan tak jelas struktur organisasinya ataupun koordinasi pelaksanaannya. Tak ada garis komando yang jelas siapa memerintahkan siapa untuk tugas apa.
Sjam Kamaruzaman adalah Ketua Biro Chusus PKI yang menjadi perantara Ketua CC-PKI DN Aidit dan sekelompok ”perwira progresif” (Letkol Untung Sjamsuri dan kawan-kawan) yang tergabung dalam G30S. Tetapi, tidak jelas apakah Aidit sebagai pengendali G30S ataukah sekadar diseret ke dalamnya karena adanya kesamaan kepentingan dengan para ”perwira progresif” itu, yaitu memereteli kekuasaan sekelompok perwira kanan (AH Nasution dan kawan-kawan) melalui tangan Sukarno.
Ide menculik Nasution dan kawan-kawan serta menghadapkan mereka kepada Sukarno diyakini sebagai cara yang efisien dan terhormat untuk melumpuhkan pengaruh para perwira kanan dalam perpolitikan nasional. Skenario itu gagal total karena buruknya koordinasi di lapangan dan rendahnya kompetensi para prajurit pelaksana operasi itu. Hal ini menyebabkan Sukarno tidak mendukung, tetapi juga tidak mengecam G30S.
Dua hari setelah kejadian itu Sukarno memerintahkan Untung dan kawan-kawan untuk membubarkan G30S. Untung pun mematuhinya. Tetapi, Aidit, yang sudah lari menyembunyikan diri di Jawa Tengah, ingin gerakan itu diteruskan sambil berharap ada dukungan Sukarno. Anehnya, ia sama sekali tidak menggunakan organ-organ PKI untuk melanjutkan gerakan. Ia hanya pasif menunggu dukungan Sukarno, tidak tahu bahwa Sukarno telah memerintahkan pembubaran G30S.
Selanjutnya adalah serangan balik Soeharto, yang sudah mengetahui sebelumnya tentang akan adanya aksi G30S itu berkat pemberitahuan Latief. Serangan balik ini hanya awal dari pengejaran, pembantaian, dan penahanan massal terhadap siapa saja yang dianggap punya kaitan dengan PKI atau ormas-ormasnya. Meskipun demikian, tidak masuk akal dan juga tidak ada bukti yang memadai untuk mengatakan Soeharto dalang G30S.
Tampak bahwa alih-alih berusaha menemukan dalang, Roosa berupaya mencari tahu ”apa yang paling mungkin terjadi dengan G30S”. Meskipun tidak berakhir dengan kepastian karena penulisan sejarah yang penuh kepastian justru mengundang kecurigaan, buku ini sekurang-kurangnya telah menyibak sebagian misteri di seputar G30S.
Rekonstruksi
Meskipun buku ini ditulis dengan tujuan merekonstruksi masa lalu, struktur gagasan buku ini berbeda dari buku sejarah pada umumnya. Alih-alih ditulis dengan alur awal-klimaks-akhir, buku ini disusun berdasarkan potongan-potongan data, tak lain untuk mendapatkan gambaran fakta yang selengkap mungkin.
Dengan itu justru terlihat keganjilan hubungan antarfakta sehingga tujuan memahami ”apa yang paling mungkin terjadi” pun relatif bisa tercapai. Metode ini mirip dengan cara kerja detektif yang berangkat dari ketidaktahuan, bergulat dengan serpihan-serpihan data, mengutak-atik ada/tidaknya hubungan antarfakta, dan berakhir dengan dugaan-dugaan kuat bahwa kepastian mustahil didapat.
Potongan data yang menjadi titik tolak penyelidikan Roosa adalah dokumen Supardjo, yang kemudian ia kembangkan dengan mempelajari potongan-potongan data lain, yakni hasil wawancaranya dengan seorang mantan kader tinggi PKI, dokumen-dokumen internal PKI, beberapa memoar eks tapol yang baru diterbitkan, dan dokumen-dokumen rahasia Pemerintah AS yang sudah dideklasifikasikan. Setiap sumber dianalisis dan selanjutnya Roosa berupaya membangun suatu narasi yang berjalan secara kronologis dan bermaksud memecahkan banyak keganjilan yang telah ia uraikan sebelumnya.
Cara kerja ini berbeda dari kebanyakan pengkaji G30S lainnya, yang dengan sepotong data langsung membangun kesimpulan sehingga penyelidikan selanjutnya tak lebih dari upaya pembuktian kesimpulan itu. Karena beragam peneliti menggenggam beragam potongan data, hasilnya adalah munculnya beragam versi, misalnya (a) Sukarno dalang G30S (Fic, 2004), (b) Soeharto dalang G30S (Wertheim, 1970), (c) G30S sebagai konflik internal Angkatan Darat (Anderson and McVey, 1971), (d) CIA dalang G30S (Scott, 1985), (e) MI-6 dalang G30S (Poulgrain, 2000), dan (f) PKI dalang G30S (buku putih Orde Baru).
Selain tak akan pernah memuaskan secara akademis, munculnya beragam versi itu hanya menimbulkan silang pendapat yang tak akan berkesudahan, yang berakibat pada pengabaian dan pelupaan atas tragedi kemanusiaan yang lebih besar, yakni pembantaian dan pemenjaraan massal terhadap ratusan ribu bahkan mungkin jutaan anggota dan simpatisan PKI atau yang sekadar di-PKI-kan, yang terjadi sejak tiga minggu setelah 30 September 1965 hingga pertengahan 1966.
Dengan kata lain, buku ini mengajukan argumentasi utama sebagaimana tertuang dalam judulnya, yaitu menempatkan G30S sebagai ”Dalih Pembunuhan Massal”, yang bersamanya Soeharto dengan dukungan para perwira kanan AD melakukan kudeta terhadap Sukarno. G30S dan kudeta Soeharto dengan demikian adalah dua peristiwa yang terpisah, yang terjadi secara berurutan, tetapi bukan dalam hubungan sebab-akibat.
Dengan argumentasi itu, Roosa ingin mengatakan bahwa G30S mempunyai makna penting karena Soeharto dan para perwira kanan AD yang telah lama menunggu-nunggu kesempatan untuk menghancurkan PKI sebagai jalan mengambil alih kekuasaan Sukarno menganggapnya demikian.
Indikator utamanya adalah begitu cepat dan masifnya propaganda penghancuran PKI mulai dikobarkan, hanya tiga hari setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh perwira AD terjadi. Dari mana AD tahu dalam tempo sesingkat itu bahwa kejadian dini hari 1 Oktober 1965 didalangi oleh PKI?
Pertanyaan itu tidak relevan karena bukti bukan dicari, tetapi dikarang-karang. Salah satu ”bukti yang dikarang-karang” yang kemudian mendorong histeria massa anti-PKI adalah ”dongeng Lubang Buaya”, yang kemudian diabadikan dalam Monumen Pancasila Sakti dan disebarluaskan melalui berbagai cara, termasuk film garapan Arifin C Noor yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI. Sedemikian intensifnya penyebarluasan dan pewarisan ”dongeng Lubang Buaya” ini sehingga terbentuklah sebuah memori nasional yang sama sekali tidak mengacu pada apa yang sesungguhnya terjadi.
Apakah dengan demikian Roosa ingin membersihkan nama PKI? Apakah ia bermaksud membela PKI?
Profesional
John Roosa adalah seorang sejarawan profesional. Selain bekerja dengan etika akademis, ia juga menulis sejarah dengan spirit human concern. Seperti tertulis dalam kata pengantar buku ini tampak bahwa sikap Roosa tidak membela aksi-aksi PKI sebelum 1965, tetapi sama sekali juga tidak membenarkan kekerasan massal yang diarahkan kepada PKI setelah G30S.
Roosa ingin menghancurkan cara berpikir dikotomistik bahwa kalau tidak anti-PKI pasti pro-PKI dan sebaliknya. Selama cara berpikir seperti ini terus dipegang, niscaya kita akan terus gagal melihat peristiwa 1965-1966 sebagai bencana kemanusiaan. Cara pandang kita akan terus didikte oleh prasangka ideologis abstrak dan kalkulasi politik sempit.
Roosa menambahkan, sudah saatnya pula untuk berhenti berpikir mengikuti stereotip-stereotip basi. Sepanjang kekuasaan Soeharto, PKI digambarkan sebagai momok jahat sehingga tidak mungkin memahami bagaimana partai itu pernah menjadi demikian populer, dengan jutaan anggota dan simpatisan. Bagaimana mungkin sebegitu banyak orang Indonesia dihujat sebagai iblis? Buku ini ditulis berdasarkan anggapan bahwa anggota PKI sebenarnya manusia, bukan setan, dan memiliki karakter moral yang tidak lebih baik atau lebih buruk dari orang-orang lain di Indonesia (halaman xix).
Pesan etis tersebut sama dengan pendapat seorang sarjana literary theories Rusia, Tzvetan Todorov, yang menyatakan bahwa begitu kita menghujat masa lalu, kita tidak akan pernah belajar apa pun dari masa lalu itu. Hal yang sebaliknya saya kira juga berlaku: begitu kita terus-menerus mengglorifikasi masa lalu, kita juga tidak akan pernah belajar apa pun dari masa lalu itu.
Begitu dekatnya hubungan antara sejarah dan etika sehingga sejarah masih berhak mengklaim sebagai bagian dari humaniora, bukan instrumen pembenar kekuasaan suatu kelompok atau sikap politik suatu golongan.
Budiawan Dosen Program Magister Kajian Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Selengkapnya...

Saturday, November 15, 2008

Suara Media Centre



Sayonara Indonesia !

(NTT for Referendum)


Pupus sudah aza untuk merekat kembali hati warga Indonesia Timur ke pangkuan Republik Indonesia. UU Pornografi telah disahkan. Alarm Kemerdekaan buat NTT sudah berdering. Generasi Tua mesti bernyali mengajak kaum muda NTT mengambil sikap tegas demi kedaulatan bangsa Flobamora. Indonesia yang hanya memihak kepentingan kaum sorban, yang mencita-citakan hukum padang pasir tegak dibumi Indonesia. Mata mereka dibutakan demi segilintir kepentingan kotor demi mengais kekuasaan dengan jalan revolusi ideology. Sadarkah kita bahwa Indonesia diambang kehancuran. Komunitas Flobamora mesti tanggap dengan kondisi yang demikian. Hanya ada satu jalan pertahankan wilayah NTT dari kepentingan kaum sorban yang hendak memaksakan tegaknya konstitusi Arab hadir di Nusa Tenggara Timur yang kita cintai ini dengan berdiri sendiri sebagai Negara Yang Berdaulat.

Tentu saja ini bisa kita pelajari bagaimana Timor Leste begitu militan berjuang terhadap penjajahan Indonesia. Kita tidak salah menentukan pilihan. Tak ada satu prasastipun pada jaman raja – raja besar di Indonesia yang mengatakan bahwa wilayah Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah taklukan kerajaan manapun. Bumi NTT adalah wilayah perdikan, daerah yang bebas dan netral. Sadarkah kita bahwa kita telah dibodohi oleh segilintir tokoh yang hanya bisa menghamba dan menjilat terhadap kepentingan Jakarta ! Karakter komunitas NTT adalah modal besar menuju cita-cita besar. Keberanian adalah modal utama dan Perjuangan adalah senjata.

Sejarah telah mencatat sesungguhnya hal ini merupakan sebab dan akibat. Wajar kalo rakyat NTT marah, wajar kalo kita harus berpisah dengan Indonesia. Dengan 10 juta penduduk saja NTT sudah cukup untuk mendirikan sebuah Negara. NTT adalah cermin masyarakat Kristiani wajar kita berbeda. Istana telah dipenuhi otak-otak Onta dan barak-barak telah diisi kawanan kambing, pedang sebagai senjata dalam berperang dan ini pertanda Indonesia bukan lagi negara Pancasila dan berubah menjadi negara agama.

Apa bisa dikata kalo kita warga NTT hanya bisa mengumpat, hanya bisa ngrumpi tanpa aksi. Apakah selamanya warga Flobamora adalah suku bangsa yang bernyali kerdil, hanya bisa mengekor kepentingan Jakarta. Hari ini kita kibarkan bendera, mulai hari ini warga NTT bersiap untuk berperang. Kita tidak sendiri. Rakyat Bali hendak merdeka, Kekuatan Permesta hidup kembali di Tanah Minahasa Sulawesi Utara, Rakyat Jogyakarta juga akan merdeka. Maluku siap bergolak dan Papua hendak lepas dari Indonesia.

Komunitas NTT dimanapun siap kembali ke bumi Flobamora jika saja keinginan untuk merdeka segera diwujudkan. Bumi NTT punya segalanya, siapa bilang NTT miskin, siapa bilang NTT tak berpotensi itu hanya ucapan makelar politik yang hendak menggadaikan dan menjual bumi NTT kepada Bangsa lain. Yakinlah Tuhan menciptakan sesuatu dengan segala kelebihannya. Ini semua hanya soal waktu dan komitmen untuk memperbaiki ekonomi rakyat NTT, jika saja pilihan untuk merdeka dipilih warga NTT maka impian untuk sejahtera mendekati kenyataan. Untuk itu sangat diharapkan kaum muda NTT untuk lebih berkreasi dalam menyambut keinginan ini. Sikap berani, militan, jujur dan kreatif adalah sokoguru perjuangan yang sejati. Siapa Kita Siapa Indonesia.

Merdeka !

Pulau Flores lumbung kita

Laut Sawu Milik Kita

Pulau Komodo Mahkota Kita

Laut Flores harapan Kita

Pulau Timor Bagian Dari Kita

Sumba Benteng Kita Jayalah Flobamora



(Mikael Risdiyanto SB) Tgl 9 Nopember 2008

Wartawan Warta Nasional Jakartas


Selengkapnya...

Suara Media Centre

Bangkitnya Semangat Bangsa Sunda Kecil
(Indonesia Mendua)


Sejarah memang berulang. Ketika Indonesia memasuki kondisi pasca agresi militer II dan pasca perundingan Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda 1949 -1950 wilayah nusantara terpecah menjadi 2: wilayah Republik Indonesia dan wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS), dan NTT masih menjadi bagian wilayah RIS sebagai bagian wilayah Negara Kepulauan Sunda Kecil. Tentu saja ini semua memiliki latarbelakang pemikiran yang berbeda mencermati keadaan waktu itu dengan perspektif dari banyak segi. Bisa jadi para tokoh NTT dahulu kala memiliki pertimbangan seyogyanya tidak ngotot untuk segera bergabung dengan RI karena ingin melakukan bargaining politik. Realitas kultur dan agama masyarakat NTT menjadi fakta pembeda dengan yang ada di pulau Jawa dan Sumatera itu. Sejarah telah mengurai kala itu ketika sebagian kalangan menginginkan piagam Jakarta sebagai acuan ideology dan RI menjadi negara darul islam, dan ternyata keinginan komunitas itu sampai saat ini terus disuarakan dan kini setahap demi setahap keinginan mereka tercapai. Yakni menegakkan syarikat islam di segala lini.
Tentu saja ini melukai komunitas anak bangsa yang lain, ketika kita bersepakat dan bersumpah untuk mendirikan negara plural yang mengayomi banyak komuntas kini telah khianati dan ingkar janji. Dengan masuknya Indonesia menjadi anggota negara OKI (negara-negara Islam) tentu saja ini menjadi pertanyaan bagi banyak kalangan terutama non muslim, ada apa dengan politik negara ini?
Dibuatnya UU peradilan agama 1992, UU Susdiknas 2002 dan terakhir lolosnya UU Pornografi 2008 menjadi indikasi kuat akan bergesernya ideology negara. Kita jangan menutup mata dan menganggap enteng masalah ini karena kehancuran negara ini menanti dan UU Pornografi adalah bom waktu bagi komunitas Non Muslim…….., Bali siap untuk membangkang, Papua siap menantang, Sulawesi Utara serta Maluku siap menendang UU tersebut, dan Kini Kepulauan Sunda kecil sedang meradang.
Banyak kalangan warga Kepulauan Nusa Tenggara berilusi akan hadirnya kembali Negara Sunda Kecil untuk menunjukkan eksistensi kaumnya atas pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh golongan tertentu terhadap realitas kultur dan ragamnya agama di bumi Indonesia. Mimpi itu pasti ada. Seringkali kaum avonturir politik di senayan bermain dalam angka-angka statistik dalam pengelabuan kondisi masyarakat Indonesia yang sebenarnya. Jadi semangat integritas bernegara semu adanya, maka sewajarnya wacana menggalang kebersamaan dan menyuarakan kebangkitan Negara Sunda Kecil menjadi sebuah jawaban atas realitas politik yang ada. Tak salah jika Rakyat Bali berkehendak untuk merdeka, dan diiringi daerah lain. Dan dalam agama apapun telah dinyatakan bahwasanya Tuhan menciptakan suatu tempat bukan untuk satu golongan saja tetapi untuk banyak komunitas. Wajar rakyat NTT menggugat! Satu hal menjadi pelajaran berharga jatuhnya Sriwijaya dan Majapahit karena keangkaramurkaan pemimpinnya. Untuk itu komunitas non muslim berharap setiap produk perundang-undangan hendaknya dikaji secara hati-hati dan komprehensif sekiranya tidak melupakan fakta yang ada bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk dan tidak boleh hanya satu komintas saja yang berhak untuk menentukan arah perjalanan bangsa ini. Bangsa ini milik kita semua entah Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha dan sebagainya atau ….Indonesia mendua !
(Kalbu Bangsaku)

Mikael Risdiyanto SB Tgl 9 Nopember 2008
Wartawan Warta Nasional Jakarta Selengkapnya...

Suara Media Centre

NGADA DI MATA MEDIA

(Rakyat Indonesia Bicara)


Kabupaten Ngada yang terletak diperlintasan trans-Pulau Flores Tengah merupakan daerah yang subur dan penuh potensi baik bidang agrobis, kelautan, pariwisata dan sebagainya. Secara geografis tampak menguntungkan dilihat dari aspek pengairan, curah hujan yang cukup dan kelembaban yang terjaga sehingga memungkinkan beberapa vegetasi bisa ditanam demi kelangsungan hidup masyarakatnya. Semangat kolektivitas dalam tataran dimensi sosial masih tampak kental citra gotong royong menjadi ciri khas pola hidup mereka,

Ditengah tarik-menarik kepentingan ideologis bangsa ini, dan gonjang-ganjing politik yang tak menentu justru masyarakat Ngada masih adem ayem seolah tak peduli dengan apa yang terjadi akan masa depan bangsa ini. Kesibukan komunal dan rutininas masyarakat Ngada tak punya arah yang pasti, miskin inspirasi dan dipimpin oleh pejabat yang tak bisa memberi stimulasi yang kongkret. Kita dipaksa jadi benalu, dan kreatitifitas kita dipasung dan dibelenggu atas nama eksistensi adat istiadat yang ternyata kesemuanya itu semu untuk dinyatakan.

Kesadaran akan perubahan dan pembaharuan harus dibenturkan dengan kepentingan ragawi bukan sebaliknya berjalan dengan penuh aroma harmoni. Kita tidak siap menjadi suku bangsa yang besar tapi menjadi suku bangsa yang tersisih dan kerdil dihadapan suku bangsa yang lain. Kita mudah diperbudak oleh keadaan terlebih jika kesemua itu unsur materi sebagai pedoman. Harga diri bisa diukur oleh uang. Tindakan asusila beberapa waktu yang lalu dilakukan oleh oknum pejabat Ngada (Oknum Kepala Dinas) bisa diamini dengan uang (hanya dengan membayar waja = denda adat).

Padahal uang tersebut disinyalir uang negara. Lebih gampang membudidayakan korupsi daripada budidaya agrobis atau apapun yang terkesan halal. Inilah kelebihan birokrasi Pemerintahan Ngada, main sikat habis setiap kalangan yang hendak memberi catatan kristis bagi prestasi birokrasi! Tak peduli itu juranalis/wartawan, LSM/NGO, ataupun masyarakat pokoknya sikat! baik melalui peradilan yang penuh skandal atau dengan dengan cara-cara busuk lainnya, inikah wajah Ngada yang sesungguhnya?

Pembangunan fisik (jalan, gedung pemerintahan, gedung sekolah dan sebagainya) terkesan asal-asalan, ini disebabkan dana alokasi proyek telah dikorup. Banyak dalih yang dipakai untuk berkelit dengan alasan dana terbatas atau alasan klasik lainnya. Jadi untuk menjadi orang kaya kita harus menjadi BIROKRAT dan ini hukum tak tertulis yang berlaku di kabupaten Ngada. Bukan sebaliknya Dengan berdayanya sektor dunia usaha (swasta) maka banyak muncullah orang-orang kaya. Sungguh fakta yang tersaji ini sangat mengerikan bagaimana banyak uang rakyat yang dihambur-hamburkan.

Jujur saja banyak pihak menyangsikan keberhasilan konsep pembangunan yang digagas oleh pemerintah kabupaten Ngada kenapa tidak, terkesan konsep itu hanya ilusi sesaat yang ditawarkan kepada rakyat, dan semua janji-janji sewaktu pilkada banyak diingkari. Ketika kita dipimpin oleh seorang pejabat yang memakai logika yang salah tentu saja banyak hal yang sia-sia yang akan kita dapatkan. Andai saja pemimpin kita ini punya sikap rendah hati dan banyak mengakomodir kalangan yang memberi sumbangsih pemikiran tentu saja pembangunan akan memperoleh hasil yang maksimal.

Rapuhkah warga Ngada dalam menyikapi fenomena sosial yang terjadi tanpa disikapi dengan satu solusi ataukah begitu perkasanya birokrasi hingga menutup akses bagi rakyat kecil atau……….entahlah !

Rakyat Ngada sedang meradang, dengan demikian situasi status quo trus berlangsung, tanpa tahu kapan semuanya itu berakhir. Tentu saja ini semua bukan keinginan rakyat Ngada, tidak salah jika banyak kalangan melakukan otokritik atas kebijakan pemerintah setempat dalam mengambil kebijakan publik yang seringkali tak lazim (tak sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku) seperti keterlambatan gaji PNS, pembiaran perilaku asusila oknum aparat/pejabat, menyunat bantuan untuk rakyat dan sebagainya. Gaya feodalisme masih tercermin kuat dalam struktur birokrasi pemerintahan setempat. Jadi dimata media Ngada daerah yang tak berdaya.

(Otokritik bagi Ngada dan semoga kelak Ngada bisa berjaya. Amien)


(Mikael Risdiyanto SB) Bajawa Tgl 9 Nopember 2008

Wartawan Warta Nasional Jakarta

Selengkapnya...