Thursday, December 25, 2008

Blitz News

Kamis, 11/12/2008 11:40 WIB
Tuhan Baru Sang Bajingan
Djoko Su'ud Sukahar - detikNews


Jakarta - Ketika melihat presiden dan para gubernur ramai-ramai meneriakkan ‘antikorupsi’ di televisi, ada celetukan bernada sarkasme. Orang Indonesia itu memang kompak. Kebersamaannya patut dipuji. Satu korupsi semuanya serempak korupsi. Dan jika ‘bapaknya’ berteriak antikorupsi, gemuruh deklarasi anti korupsi pun membahana se-Nusantara. Kita memang gampang mufakat. Mufakat untuk berbuat baik dan mufakat melakukan kejelekan.

Namun benarkah ‘permufakatan kebaikan’ yang diteriakkan secara koor itu akan sertamerta menghilangkan tindak korupsi? Rasanya jauh panggang dari api. Korupsi masih akan laten terjadi. Sogok dan suap jadi roda kehidupan. Dan upeti dalam bentuk ‘uang jasa’ serta komisi rutin direalisasi.

Mengapa pesimisme itu menggelayuti hati di tengah gempitanya perang melawan korupsi? Itu lebih karena kenyataan, budaya bangsa ini telah hancur binasa. Persepsi nilai luhur telah jauh bergeser. Dari ‘budaya budi’ yang menekankan keluhuran, kejujuran dan sikap amanah, berubah menjadi ‘budaya materi’ yang mempersepsi harga diri dan gengsi ‘bisa dibeli’.

Di zaman ini memang hampir tidak ada lagi orang yang bangga dengan kemiskinan karena kejujuran dan ketulusan. Dan tidak ada pula yang punya keberanian untuk menolak rezeki yang bukan haknya. Semuanya berlomba dalam semangat ‘sepi ing gawe rame ing pamrih’. Berebut harta melalui cara apa saja. Pameo manusia mati meninggalkan nama dianggap telah usang dan tergantikan dengan ‘manusia mati mewariskan kekayaan’.

Banyaknya ‘kere munggah bale’, orang kaya mendadak dianggap lumrah. Tak disoal kekayaan itu hasil ‘tisani’, tipu sana tipu sini. Malah melacurkan diri demi harta atau ‘makan’ teman sendiri dan korupsi dikonotasikan cerdas. Bangga sebagai bajingan itu terjadi karena kearifan leluhur serta harga diri sebagai bangsa yang beradab sudah sirna.

Simak saja para koruptor yang masuk bui. Mereka terlihat begitu tenang dan berwibawa. Tidak ada rasa risih dan malu ketika diajak bicara kesibukannya di penjara. Juga tidak terlihat beban tatkala tertangkap tangan atau mereview tindak bejatnya di kala rekonstruksi. Itu yang membuat kaya hasil simsalabim jadi trend, yang celakanya jadi mimpi-mimpi mayoritas warga negeri ini.

Kabar pejabat baru mencari kesempatan sudah umum. Cari peluang untuk melakukan ‘tindak tak terpuji’ tidak tabu lagi. Itu karena harta telah menjadi ‘tuhan baru’ yang menjanjikan tahta dan gengsi. Tanda, bahwa cengkeraman virus dekaden telah bersimaharaja melumat bangsa ini.

Kebiasaan buruk yang telah mentradisi itu juga mengubah pandangan masyarakat terhadap nilai keberhasilan atau kegagalan seseorang. Yang masih lurus dan amanah tidak diapresiasi. Jika ada orang yang miskin akibat sikapnya itu, bukan tabik hormat yang diterima, tapi rasa iba dan sinisme. “Kasihan dia, karena jujur tetap miskin dan nggak punya apa-apa sampai pensiun.” Betapa tragisnya, kejujuran telah dianggap sebagai aib. Sikap yang menjijikkan !

Jika sudah seperti itu pandangan ideal hidup dan melakoni hidup sebagian warga negeri ini, adakah bisa ‘disembuhkan’ secara instan? Seberapa kuat teriakan antikorupsi mampu memberikan penyadaran?

Saat ini ditaksir sudah satu atau dua generasi yang terjangkit virus korupsi. ‘Membuang’ semuanya tak mungkin. Langkah penyelamatan adalah amputasi. Memotong bagian yang sudah terinfeksi. Hukuman mati merupakan pilihan. Itu jika tak ingin negeri yang konon gemah ripah ini semakin bangkrut dan terus-menerus dililit kemelaratan.(iy/iy)

Selengkapnya...

Jakarta Info


Rabu, 24/12/2008 12:58 WIB
Gereja Katedral Siap Sambut Natal
Novia Chandra Dewi - detikNews


Jakarta - Suara lantunan lagu pujian terdengar syahdu. Dari dalam gereja tua terbesar di Jakarta, suara itu berasal. Baik di sekitar halaman gereja Katolik itu maupun di bagian dalamnya, semua ornamen Natal terpasang rapi. Gereja Katedral siap menyambut Natal.

"Semua persiapan hampir 99% selesai. Hanya tinggal masalah teknis saja yang kami kerjakan saat ini," ungkap Humas Gereja Katedral Grace Tanus saat ditemui di sela-sela kesibukannya menyambut Natal di Gereja Katedral, Jl. Gereja Katedral, Jakarta Pusat, Rabu (24/12/2008).

Menurut Grace, semua persiapan diperuntukkan bagi kenyamanan umat dalam menjalankan ibadah nantinya. Selain kesiapan fisik, Grace mengaku pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan pihak Polres Jakarta Pusat untuk persiapan dalam hal keamanan. "Sekitar 340 personel nanti yang akan ikut mengamankan di sekitar gereja katedral ini," kata Grace.

Untuk keamanan, Grace mengaku, pihaknya hanya mengizinkan untuk berjaga-jaga di bagian luar saja. Hal ini, kata dia, agar tidak mengganggu kenyamanan saat prosesi misa yang akan dimulai pada pukul 17.00 WIB nanti. "Selain dari Polsek, ada juga bantuan keamanan secara sukarela dari Dewan Masjid Indonesia," imbuh Grace.

Grace menambahkan, nantinya bantuan keamanan dari pihak luar akan berkoordinasi dengan Polres dalam pelaksanaannya nanti. Pihak keamanan akan mulai mengamankan area gereja sekitar pukul 16.00 WIB sebelum kebaktian pertama dimulai.

"Dengan adanya pihak luar yang ingin membantu prosesi perayaan Natal kali ini, kami dari pihak gereja Katedral akan berterima kasih sekali karena sudah mau ikut bekerja sama dengan kami untuk membantu keamanan secara sukarela," terang dia.(nov/asy)


Selengkapnya...

Vatican News

Selasa, 23/12/2008 11:33 WIB
Pesan Natal
Bukan Sekali Paus Ingatkan Bahaya Homoseksualitas
Eddi Santosa - detikNews

Foto: parochiedinther.nl
Vatican City - Gereja Katolik Roma sangat keukeuh mengingatkan umat manusia untuk menjaga diri dari bahaya perilaku homoseksualitas.

Sebelumnya dalam kunjungan kerja dua hari di Spanyol musim panas lalu, Paus Benedictus XVI selaku pemimpin umat Katolik Roma mengkritik pemerintah sosialis Zapatero yang melegalkan perkawinan homo.

"Perkawinan itu tidak terlepaskan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan," ujar Paus saat itu dalam misa umum di Valencia (Algemeen Dagblad, 9/7/2008).

Selain homoseksualitas, Gereja Katolik roma hingga saat ini juga masih mengharamkan penggunaan kondom.

Dalam pesan menjelang Natal kemarin (22/12/2008), Paus menyampaikan bahwa hutan tropis harus diselamatkan dari kepunahan, sama pentingnya dengan menyelamatkan umat manusia dari perilaku homo- dan transeksual.(es/es)

Baca juga :




Selengkapnya...

Detik Com...News


Jumat, 26/12/2008 03:51 WIB
Akibat Delay 8 Jam, 6 Penumpang Merpati Batal Natalan
Rachmadin Ismail - detikNews

ilustrasi
Jakarta - Merayakan natal bersama keluarga di kampung halaman sudah menjadi tradisi bagi Egenius Soda setiap tahun. Namun hal itu tidak bisa dilakukan oleh pria asal Labuan Bajo, Flores, untuk natal kali ini.

Egen begitu ia biasa disapa, harus terjebak di Denpasar, Bali, bersama 5 penumpang asal Flores, lainnya. Ia harus menunggu 2 hari di Pulau Dewata, akibat tertinggal pesawat lanjutan yang dijadwalkan membawanya pulang ke kampung halaman.

"Kita nggak dapat pesawat lanjutan ke Flores. Karena delaynya terlalu lama di Jakarta," ujarnya saat dihubungi detikcom, Kamis (25/12/2008).

Egen adalah salah satu dari ratusan penumpang Merpati Nusantara Airlines dengan nomor penerbangan MZ-640 rute Jakarta-Denpasar-Sumbawa-Flores. Sesuai jadwal, pesawat tersebut seharusnya berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Kamis 25 Desember, pukul 06.00 WIB. Namun penumpang harus kecewa karena penerbangan delay (ditunda) selama lebih kurang 8 jam.

Pesawat baru meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 13.30 WIB, untuk kemudian transit di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Padahal pesawat itu seharusnya tiba di Sumbawa lalu ke Flores, pada Kamis sore.

"Kita sempat marah-marah di Jakarta," imbuhnya.

Menurut Egen, pihak Merpati sempat mengatakan, transit di Denpasar hanya memakan waktu 2 jam. Namun kemudian, diumumkan bahwa penerbangan ditunda selama 2 hari. Penumpang tujuan bandara Waingapu, Sumbawa, dan bandara Labuan Bajo, Flores, baru bisa melanjutkan perjalanan pada Sabtu, 27 Desember 2008. Praktis mereka batal merayakan Natal bersama keluarga di kampung halaman.

"Kita akhirnya diinapkan di Bali. Pihak Merpati memberi fasilitas menginap dan makan," jelasnya.

Namun Egen dan penumpang lainnya tetap merasa sedih dan kecewa, karena harapan mereka untuk merayakan Natal bersama keluarga di kampung halaman, batal terwujud."Kita berharap Merpati lebih profesional," pungkasnya.(mad/mad)

Selengkapnya...

Sahabat-Ku, Ugiq (Operator AriaNet Denpasar)


Operator AriaNet Sang Penembus Waktu


Aktivitas Operator AriaNet, Pembuka Jendela dunia. Nama saya Sugiono Lalu, panggilanku Ugiq Kuliah di Werness - Denpasar. Sekarang melanjutkan ke S1 STIKOM - Bali.
Selengkapnya...

Sunday, December 21, 2008

Sebuah Kesaksian

Menanggapi Penantian Tuhan
(Kesaksian dimuat pada Majalah Hidup Edisi No. 16 Tahun ke 60 - 16 April 2006)

Udara dingin kian menggigit Kota Yerusalem sewaktu senja menyelinap. Sementara dahan-dahan sekawanan pohon zaitun berayun diterpa angin kencang, Rosita Wibissana melintasi Taman Getsemani.

Rosita Wibissana

· Berkat Tuhan yang tak terlupakan
dalam hidup saya saat si sulung
sembuh dari sakit tulang
punggung berkepanjangan

· Kerinduan saya berziarah
terjawab pada Maret 2006, saya
berangkat ke Tanah Suci

· Setelah berziarah, murid-murid
kursus menjahit yang saya kelola
bertambah

IA bergegas melangkah ke dalam gereja, ingin lekas menjaring seberkas kehangatan. Begitu ia duduk di kursi, kantuk menyerbu. Dengan sekuat hati ia berupaya tetap membuka mata… Tiba-tiba, Rossita melihat bayangan seorang wanita berkerudung melayang di depannya. “Saya langsung limbung hampir jatuh… sampai dipegangi orang di sebelah saya,” ucap warga Paroki Bunda Maria Cirebon ini. Seraya mengerjap-ngerjapkan pelupuk matanya, Rosita menatap altar yang tersiram cahaya lampu. Lalu, ia menindih berlarik-larik rasa di batinnya tentang apa yang baru saja melintas. Dan, ia membiarkannya terekam sebagai kenangan tersendiri. “Pengalaman itu paling mengesan buat saya selama berziarah ke Tanah Suci,” ujar wanita yang berziarah bersama Stella Kwarta Wisata, 8-18/3 lalu. Ternyata, setelah kembali ke Tanah Air, penyelenggara Kursus Menjahit “Nany” di Jl Dr Cipto Mangunkusumo, Cirebon ini merasakan aliran berkat dalam usahanya. Berbagai proyek, yang sebelumnya ia ajukan, lolos. “Saya juga mendapat bantuan dana dari APBD Diknas yang selama ini tidak pernah saya peroleh,” ujarnya gembira.

Sangat berisiko
Jauh-jauh hari sebelum berangkat ke Tanah Suci, Rosita kerap merasakan kucuran berkat dari Tuhan. Salah satunya, yang tak akan terlupakan, saat anaknya sembuh dari sakit tulang punggung berkepanjangan. Suatu hari si sulung Antonius Yuwono kesakitan bila berjalan. Rosita dan suaminya pun mengupayakan pengobatan ke berbagai tempat. Dokter ahli tulang mendiagnosa, tulang punggung Anton bergeser tak keruan. “Anton harus dioperasi dari tengkuk hingga tulang ekornya untuk membenahi ruas-ruas yang berantakan,” kenang Rosita. Operasi itu sangat berisiko karena bisa menyebabkan kelumpuhan. Dalam kepungan galau, Rosita meningkatkan doa-doanya. Bahkan, untuk pertama kali, ia mengikuti retret WKRI di Wisma Pratista, Bandung. “Seusai retret saya mengajak Anton berobat alternatif ke Pastor H. Loogman MSC di Purworejo,” lanjut aktivis WKRI Cirebon ini. Melalui Pastor Loogman, akhirnya penyebab Anton sakit ketahuan. “Sebelumnya, ia pernah terjatuh sewaktu main basket. Akibatnya, ruas-ruas tulang punggungnya bergeser,” urai Rosita. Karena Anton kuliah di Bandung, Pastor Loogman memintanya melanjutkan pengobatan pada Liliana Indrajaya di Bogor. “Setiap pagi dan sore saya mengurutnya dengan jamu dari Ibu Liliana.” Doa-doa dan ketelatenan Rosita akhirnya membuahkan hasil: Anton pulih seperti sediakala. Rosita sungguh mensyukuri peristiwa tersebut.

Ke Tanah Suci
Awal 2006, Rosita ingin sekali berziarah ke Lourdes. Karena tak ada teman yang mau ke sana, ia mengurungkan keinginannya. Medio Januari, rekan seorganisasi di WKRI mengajaknya berziarah ke Tanah Suci. “Karena memang niat berziarah, ajakan Bu Sri Harti saya terima,” lanjut Rosita. Saat itu kaki kiri Rosita sedang bermasalah. “Ada pengapuran,” ungkapnya. Akibatnya, ia tak sanggup berjalan jauh. Nyeri kerap menyengat tulangnya. Keinginan berziarah membuatnya segera berobat ke dokter ahli tulang. Selama beberapa waktu Rosita harus mengonsumsi obat. Selain itu, untuk rencana kepergiannya, dokter memberikan vitamin agar Rosita mampu menangkal udara dingin. Awal Maret, Rosita bersama tiga rekannya dari Paroki Bunda Maria Cirebon: Seraphine Dharmawan, Sri Harti, dan Tien Suhartinah bersiap-siap berangkat ke Tanah Suci.

Sederet lansia
Dengan kondisi tulang yang tidak prima, Rabu, 8/3/2006, Rosita dkk bergabung dengan peserta ziarah Stella Kwarta Wisata lainnya. Ia langsung terkesan dengan ikut sertanya belasan lansia. Seorang peserta asal Pontianak Ny Veronica Lay Nga Djin sudah berusia 86 tahun. Begitu pula Ny Seniwati Anwar yang berusia 75 tahun masih tampak gagah melangkah dengan tongkatnya. Meski tubuh telah renta dipahat jejak waktu, mereka masih rindu menapak tilas jalan Tuhan. “Melihat mereka saya jadi makin bersemangat,” ujar wanita berusia 64 tahun ini. Selama perjalanan, sesekali rasa nyeri masih mengusik lutut kiri Rosita. “Saya sempat minum obat pada hari ketiga dan kelima ziarah karena kaki saya sakit,” aku ibu tiga anak ini. Sejak awal pemandu ziarah F. Asmi Arijanto telah mengingatkan, tak mudah mencapai Tanah Terjanji. Proses imigrasi dan bea cukai di Kota Taba, daerah perbatasan Mesir dan Israel, sangat ketat. Petugas setempat membongkar-bongkar koper dan tas jinjing peserta ziarah. Syukurlah, Rosita tak mengalami hambatan berarti. “Hanya saja karena harus berjalan jauh, saya merasa lelah. Tetapi orang lain tidak tahu, kaki kiri saya sedang bermasalah.”

Seperti Zakheus
Sebagaimana hakikat berziarah, Arijanto mengajak peserta mencari Tuhan lebih jauh seperti Zakheus harus memanjat pohon tinggi. “Cecaplah seluruh pengalaman rohani selama di Tanah Suci,” kata tamatan STF Driyarkara Jakarta ini. Rosita pun berusaha mencecap seluruh pengalaman di St Katarina, Qumran, Benteng Massada, Nasaret, Danau Galilea, Tiberias, Kana, Bukit Sabda Bahagia, Kapernaum, Tabhga, Sungai Yordan, Gunung Tabor hingga Yerusalem…. Senin, 13/3, di Gereja Kana dalam Misa konselebrasi yang dipersembahkan Pastor Greg Soetomo SJ, Pastor Stanislaus Sutopanitro Pr, dan Pastor Petrus Tunjung Kesuma Pr, belasan pasutri mengulang kembali janji perkawinan mereka. Karena tak mengajak suami, Rosita hanya bisa menatap mereka dalam selimut haru. Sementara sang suami berada nun jauh di Cirebon…. Selasa, 14/3, peserta diajak ke Gunung Tabor, tempat transfigurasi Yesus di antara Nabi Musa dan Nabi Elia. Di tempat ini peserta mengumpulkan surat-surat cinta untuk Tuhan, titipan handai-taulan di Tanah Air. “Saya menitipkan surat dari putri saya,” ujar Rosita. Dalam perjalanan pulang, supir oplet menanyakan negara asal peserta. “Wow Indonesia, Abu Bakar Ba’asyir!” komentarnya spontan. Ketika menikmati ikan Santo Petrus di sebuah restoran di pinggir Danau Galilea, Rosita mengatakan. “Ini mah ikan mujair!” Di Betlehem, seusai melihat gua kelahiran Yesus, gigi depan Rosita sakit. Ia berobat pada dokter gigi, relasi seorang pastor Gereja Ortodoks, kenalan Arijanto. “Ternyata menempel giginya lebih bagus dari dokter gigi di Indonesia. Gratis lagi!” ucapnya.

Giliran pertama
Puncak peziarahan adalah saat menyusuri Jalan Derita Via Dolorosa menuju Makam Suci di Golgota. Keseriusan rombongan sempat cair tatkala seorang penduduk menyeletuk, “Hi, is Jacky Chan with you?” Rupanya paras oriental kebanyakan peserta membuat pemuda itu mengira Rosita dkk sebangsa dengan Jacky Chan. Rosita mendapat giliran pertama memanggul salib bersama Ketua Puteri Santa Angela Jakarta Linda Gunawan. Di perhentian ketujuh, Rosita memimpin doa. “Karena sudah tua dan berjalan menanjak, saya agak ngos-ngosan,” tambahnya. Karena ingin diabadikan sebagai kenang-kenangan, Rosita kembali memanggul salib di perhentian terakhir. “Tapi sayang, saya lupa membeli potretnya…,” keluhnya menyesal. Selama sepuluh hari, Rosita dan peserta ziarah lainnya dikondisikan banyak berdoa di puluhan lokasi. Di Kota Yerusalem saja belasan lokasi mereka ziarahi: Gereja Kelahiran Yesus di Betlehem, Tembok Ratapan, Kolam Bethesda, Bukit Zaitun, Gereja Bapa Kami, Gereja Dominus Flevit, Taman Getsemani, Via Dolorosa, Bukit Sion, Gereja Bunda Maria Tertidur, dan Gereja Ayam Berkokok. Peziarahan dituntasi di Gunung Nebo, Yordania tampat Nabi Musa hanya bisa melihat Tanah Terjanji dari kejauhan. Dalam buku The Holy Places Today, M. Basilea Schlink mengungkapkan, Israel dewasa ini penuh hiruk-pikuk. Tempat sengsara dan wafat Yesus misalnya, kini tertutup oleh berbagai bangunan dan gereja yang tidak memberi kesan jelas tentang apa yang terjadi semasa Yesus hidup. “Namun Yesus yang pernah hidup, bersabda, dan melakukan mukjizat-mukjizat di Yerusalem maupun di seluruh Galilea tetap menantikan umat-Nya di tempat Ia pernah hidup dan berkarya,” demikian Schlink. Usai ziarah, kegembiraan Rosita tumpah. Sebagaimana kata Schlink, ia telah menanggapi penantian Tuhan di Tanah Terjanji. Kini serpihan rindu kembali terserak di hatinya. “Saya ingin ke Lourdes,” harapnya.

Maria Etty, Hidup 2006
Selengkapnya...

The Soputan IntewrMezzo...Entertaint 2008




sekilas harap, senyum dan lambaian tangan mengiringi pergantian tahun nan suram. Gaji stagnan, biaya hidup mahal dan sebagainya membangkitkan daya juang makin menggebrak. Mari sobat bergandengan tangan merintis jalan yang lapang. Kuasai teknologi merupakan jawaban atas smuanya. Tunjukkan Siapa kita Siapa Indonesia.
Selengkapnya...

Natal in Indonesia....Very Nice

Photo Gallery

  • Christmas in the air

    sp20-a.jpg

    Lighting the Advent candles on the corona. One candle symbolizes one week.

Related Photos

    sp20-a.jpg

  • sp20-e.jpg Together a family experiences the fun and joy of decorating their Christmas tree ahead of Christmas Day, which is celebrated on Dec. 25.

    " type="hidden">
  • sp20-f.jpg Creativity is the key in creating beautiful Christmas ornaments. This creche is made from wooden spoons.

    " type="hidden">
  • In preparing for a joyful Christmas on December 25, Catholics are not just involved with the outward signs of Christmas, such as buying tree ornaments or making decorative caves or stables. They're also involved with something even more important: Their spiritual preparation during Advent.

    Advent is the period before Christmas which usually begins on the first Sunday after November 30. Its length can vary but there has to be four Sundays. The word "Advent" originates from the Latin word which means "arrival".

    During this time, Catholics prepare celebrations to welcome the coming of Jesus and His arrival to judge humanity. Thus, Catholic believers are ordered to confess their sins to God before a priest in a private room. After making the confession, the priest will invite the sinner to pray to God with thanksgiving for forgiveness and with promises not to repeat the wrongdoing.

    The color purple dominates Catholic churches during Advent, symbolizing repentance and regret. The corona, or Advent wreath holds four candles and one is lit every Sunday, but on the third Sunday, pink candles are lit. These candles are called gaudete which means "joy" in Latin. On one hand they are deep in regret and repentance, but on the other they are enjoying the festivities because Christmas is coming.

    -- Text and photos by Ricky Yudhistira

Selengkapnya...

Google Earth (Pemetaan Wilayah Buat NTT agar mengetahui Potensi Tambang)

Masyarakat Jepang Protes Google Earth
Sabtu, 20 Desember 2008 | 06:39 WIB

TOKYO, SABTU - Kelompok pengacara dan profesor di Jepang, Jumat (19/12), meminta Google Inc menghentikan program Google Earth yang memberikan gambar rinci jalan dan rumah dari kota-kota di Jepang.

Penyajian secara rinci lokasi di internet itu, menurut mereka, merupakan sebuah pelanggaran hak-hak privat. Google menyajikan peta dengan sudut hingga 360 derajat dari 12 kota di Jepang. Juga disajikan peta rinci dari 50 kota di Amerika Serikat serta sejumlah kawasan tertentu di Eropa.

Para pengguna situs bisa merinci hingga nama jalan, lokasi rinci, bahkan aktivitas seseorang di luar rumahnya. ”Kami curiga apa yang dilakukan Google ini sebagai sebuah pelanggaran yang sangat atas hak dasar manusia,” ujar Yasuhiko Tajima, profesor hukum konstitusi dari Universitas Sophia, Tokyo.

Gambar dari Google ini bisa merinci seseorang yang sedang berjemur matahari di halaman rumahnya. Makanya mereka protes.



Sumber : Kompas Cetak Selengkapnya...

Wednesday, December 17, 2008

Waturenggong Street in Denpasar - Bali, CD House Activity


Bung Tono, lulusan akademi Kulit Jogyakarta - Indonesia, meraih masa depan tak mengenal lelah. Siang malam menggapai mimpi...Keyakinan yang bermuara..., Salam Damai dan Sejahtera menjadi berkatmu....., Mas Tono pemuda lajang asal Boyolali - Jawa Tengah ini lahir 33 thun silam dengan status lajang.....,Semangatnya patut ditiru bagi kaum muda saat ini....Jangan berhenti manggapai dan meretas mimpi...........................
Selengkapnya...

Markas Besar Pemuda Katolik di Galur - Jakarta (Pasar Senen)


Perjuangan belum selesai, hari ini adalah awal segalanya....Jangan sia-siakan waktu yang tersisa...dan tak selamanya kita menjadi bangsa yang tersisih dan kerdil...., Buat Frengky (lembor - Kab Manggarai - Flores, Andi Jemalur (Satarmeze - Kab Manggarai - Flores), Yoan dan Klituz (Kab manggarai - Flores)...Mantapkan tekad, satukan harapan NTT for Referendum..Galang kekuatan dan kebersamaan di Sekolah Tinggi Filsafat Kateketik - Driyakarya - Jakarta......Dan Jayalah Bangsaku FLOBAMORA
Selengkapnya...

Monday, December 15, 2008

Inkultrasi Religiusitas - Cermin Kerasulan Iman Tanpa Mengabaikan Budaya Adiluhung (Obyek - Kediri - Jawa Timur)

Gereja yang Berwarna Hindu-Jawa

SUASANA di gereja Desa Puh Sarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, malam itu begitu khusuknya lamat-lamat pula terdengar suara tetabuhan gamelan Jawa dari arah gedung serba guna gereja. Suara koor gerejani dalam bahasa Jawa mengalun diiringi suara musik gamelan Jawa. Saat Jumat legi kemarin, jalan desa itu dipenuhi kendaraan peziarah dari luar kota.

Sekitar 3000-an orang umat Katolik datang kesini, berziarah, berdoa di depan Gua Bunda Maria Lourdes. Diperkirakan 10.000 orang akan hadir dalam upacara besar "Pembukaan Jubileum Agung Tahun 2000" di wilayah Keuskupan Surabaya, yang akan diselenggarakau di Puh Sarang, Minggu 26 Desember 1999.
Perhatian utamanya bakal tertuju kegereja antik Pub Sarang yang dibangun tahun 1936 olch seorang arsitek antropolog pengagum kebudayaan Majapahit. Arsitekturnya berpola inkulturasi (penyerapan budaya lokal) Hindu Jawa.
Puh Sarang adalah nama sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Semen, terletak di sekitar 10 km arah tenggara kota Kediri. Poh Keputih, tampaknya merupakan asal nama ini.Posisinya bcrada di lereng timur Gunung Klotok, Komplek Pegunungan Wilis, berupa kawasan bcrkontour, berudara dingin, dan batu kali menjadi kekayaan desa ini. Sungai Kedak yang melewati Puh Sarang dipenuhi batu, sehingga batu kemudian menjadi mata pencaharian kedua,selain bertani.

"Orang sini hidup dari memecah batu. Saking banyaknya batu, harga batu untuk bangunan bisa lebih murah daripada harga batu bata", tutur Rudi (25), pemecah batu, juga kuli bangunan.Scorang laki-laki dengan tenaga penuh sesiangan bisa memukul pecah batu hingga 20 cikrak sehari. Itu berarti penghasilan mereka sekitar Rp 15.000 - Rp 20.000 sehari.

GEREJA Puh Sarang mcnarik karena fisik bangunan gerejanya. Arsitekturnya sengaja dibikin setengah mirip dengan candi-candi Jawa Hindu di Jatim dan Jateng kuno. Keunikan itu tampaknya muncul disebabkan oleh pilihan metode dakwah pendirinya, Pastor Wolters, CM dibantu seorang antropolog arsitektur Ir. Henricus Maclaine Pont. Gereja berusaha melakukan inkulturasi, proses pada saat mana kebudayaan lokal diserap untuk memahamkan ajaran gereja komunitas lokalnya. Puh Sarang didirikan sebagai gereja inkulturasi dengan pendasaran pada filsafat Hindu-Jawa.
Ketua Stasi Puh Sarang Mbah Tukiman (70-an) memiliki sebuah salinan tulisan anonim yang tampaknya merupakan hasil sebuah riset akademis sejarah Puhsarang.Terekam di situ, bahwa sejak semula Pastor Wolter, CM mengonsep gereja Puh Sarang ini sebagai sebuah "Gereja Hindu Jawa". Harapan Wolters sesuai dengan obsesi Maclaine dan pengetahuannya yang dalam tentang situs Majapahit di Trowulan, sehingga Puh Sarang didesain dengan konsep Hindu-Jawa itu.
Paul Jansen, stasi Puh Sarang tahuan 1950-an menjelaskan, betapa inkulturasi bentuk bangunan gereja sebagaimana Puh Sarang tetap perlu di masa itu. Proses inkulturasi itu, dalam sejarah puh Sarang bahkan sudah makin jauh, antara lain dengan menggunakan tarian Jawa meskipun kemudian ditolak oleh umat.

Pub Sarang masa kini sudah makin berkembang secara fisik. Gereja membeli berhektar-hektar tanah penduduk setempat. Warga setempat yang juga umat tentu saja memberikan karena selain gereja membeli dengan harga tiga kali lipat harga pasar, juga karena warga juga rela tanahnya digunakan untuk pelayanan. Maklum penghasilan warga cuma pemecah batu kali, dan gereja juga menyediakan tanah pengganti.

Keuskupan Surabaya juga merestui pcmbangunan Gua Bunda Maria Lourdes yang megah lcngkap dengan plaza tempat perenungan yang bisa menampung ribuan orang.Di situpun dibangun replika jalan salib Golgota, pondok-pondok Rosario, yang nantinya akan diresmikan pada Upacara besar "Pembukaan Jubileum Agung lahun 2000".
Tidak heran jika Puh Sarang kini berkembang menjadi daerah tujuan wisata baru.
Tanah-tanah sekitar lokasi Pub Sarang kini harganya melonjak karena datangnya pembeli tanah dari Jakarta, yang merencanakan hendak membangun penginapan-penginapan. Begitulah proses inkulturasi kini menemukan bentuk barunya,berupa reproduksi simbol spiritual dan bahkan peluang bisnis penginapan, selain tambahan penghasilan penduduk menjaga penitipan sepeda.


Cuplikan dari media kompas

( Harian KOMPAS, Jumat , 24 Desember 1999 hal. 17 )

Selengkapnya...

NTT - KU Perbaharui Imanmu (Tuhan Mengurapi Daerah-mu)

Riwayat "katolik"

[sunting] Ignatius dari Antiokhia

Sepucuk surat yang ditulis Ignatius kepada umat Kristiani di Smyrna[1] sekitar tahun 106 (Surat kepada jemaat di Smyrna, 8) merupakan bukti tertua yang masih ada dari penggunaan istilah Gereja Katolik. Istilah Gereja Katolik digunakan Ignatius untuk menyebut Gereja Kristiani dalam aspek universalnya. Istilah ini tidak mencakup bidaah-bidaah tertentu yang ada semasa hidupnya, yang menyangkal bahwa Yesus adalah insan jasmaniah yang sungguh-sungguh menderita sengsara dan wafat, dan sebaliknya mengatakan bahwa "Dia hanya tampak seolah-olah menderita sengsara" (Surat kepada jemaat di Smyrna, 2),[2] bertentangan dengan keyakinan akan realitas jasadNya, yang sungguh menderita sengsara dan dibangkitkan kembali (Surat kepada jemaat di Smyrna, 7).[3] Dia menyebut orang-orang tersebut "binatang dalam rupa manusia, yang tidak hanya harus tidak kamu terima, tetapi, jika mungkin, tidak kamu temui" (Surat kepada jemaat di Smyrna, 4). Istilah tersebut juga digunakan dalam Kesyahidan Polykarpus pada 155 dan dalam fragmen Muratorian, sekitar 177.

[sunting] St. Kiril dari Yerusalem

St. Kyril dari Yerusalem (sekitar 315-386) mengimbau orang-orang yang sedang menerima bimbingan iman Kristiani darinya demikian: "Jika kalian berada di dalam kota-kota, jangan hanya bertanya di manakah Rumah Tuhan (karena sekte-sekte profan lainnya juga berusaha menyebut tempat-tempat mereka sendiri Rumah-Rumah Tuhan), jangan juga hanya bertanya di manakah Gereja, tetapi bertanyalah di manakah Gereja Katolik. Karena inilah nama khusus dari Gereja yang Kudus ini, bunda kita semua, yang adalah mempelai dari Tuhan kita Yesus Kristus, Putera Tunggal Allah" (Materi-materi Katekisasi, XVIII, 26).[4]

[sunting] Theodosius I

Istilah Kristen Katolik termuat dalam undang-undang kekaisaran Romawi tatkala Theodosius I, Kaisar Romawi dari 379 sampai 395, mengkhususkan nama tersebut bagi para penganut "agama yang diajarkan kepada orang-orang Romawi oleh Rasul Petrus yang suci, karena agama itu telah terpelihara berkat tradisi yang kuat dan yang kini dianut oleh Pontif (Paus) Damasus dan oleh Petrus, Uskup Aleksandria ...sedangkan bagi orang-orang lain, karena menurut penilaian kami mereka adalah orang-orang gila yang bodoh, kami nyatakan bahwa mereka harus ditandai dengan sebutan nista sebagai kaum bidaah, dan tidak boleh menyebut tempat-tempat pertemuan mereka sebagai gereja-gereja." Undang-undang 27 Februari 380 ini termaktub dalam kitab 16 dari Codex Theodosianus.[5] Undang-undang ini mengukuhkan Kristianitas Katolik sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi.

[sunting] Augustinus dari Hippo

Penggunaan istilah Katolik untuk membedakan Gereja "sejati" dari kelompok-kelompok bidaah juga dilakukan oleh Augustinus yang menulis demikian:

"Dalam Gereja Katolik, ada banyak hal lain yang layak membuat saya tetap berada dalam rahimnya. Kesepahaman orang-orang dan bangsa-bangsa membuat saya bertahan dalam Gereja; begitu pula otoritasnya, dikukuhkan oleh mukjizat-mukjizat, disuburkan oleh pengharapan, diperbesar oleh kasih, dan diperkokoh oleh usia. Suksesi para imam membuat saya bertahan, mulai dari tahta Rasul Petrus sendiri, yang kepadanya Tuhan, sesudah kebangkitanNya, memberi tugas untuk menggembalakan domba-dombaNya (Jn 21:15-19), turun sampai para uskup yang ada sekarang.
"Dan begitulah, akhirnya, dengan nama Katolik, yang, bukan tanpa alasan, di tengah-tengah begitu banyak bidaah, telah dipertahankan Gereja; sehingga, sekalipun semua kaum bidaah ingin disebut umat Katolik, namun bilamana ada orang asing yang bertanya di manakah Gereja katolik berhimpun, tidak satupun bidaah yang sanggup menunjuk kapel atau rumahnya sendiri.
"Sebanyak itulah jumlah dan makna ikatan-ikatan mulia yang dimiliki nama Kristiani itu yang menahan seorang beriman agar tetap dalam Gereja Katolik, sebagaimana yang seharusnya ... Dengan kamu, di mana tak ada satu pun hal-hal ini untuk memikat atau menahan saya... Tak seorangpun dapat melepaskan saya dari iman yang mengikat pikiran saya dengan ikatan-ikatan yang begitu banyak dan begitu kuat pada agama Kristiani... Di pihak saya, saya tidak percaya akan injil kecuali digerakkan oleh otoritas Gereja Katolik."
— St. Augustinus (354–430): Melawan Epistola kaum Manikeus yang disebut Fundamental, bab 4: Bukti-bukti iman Katolik.[6]

[sunting] Sejarah singkat gereja Katolik Roma

Awalnya, jemaat Kristen berada di bawah kepemimpinan besar lima daerah, yaitu Yerusalem, Antiokia, Aleksandria, Konstantinopel, dan Roma. Uskup Roma dikenal oleh 5 daerah sebagai "yang pertama", permasalahan dengan doktrin dan prosedur banyak mengambil Roma sebagai masukan pendapat. Kursi Roma merupakan kursi dari suksesor Santo Petrus yang mendapat julukan "Pangeran Para Rasul" sebagai tanda persatuan Gereja[7].

Perpecahan-perpecahan besar dalam struktur Gereja sebagai lembaga tercatat sebagai berikut:

Seluruh grup di atas kecuali Protestan masih menyebut persekutuan mereka sebagai Katolik. Dewasa ini, semakin banyak Gereja-Gereja Timur yang kembali ke dalam persekutuan penuh dengan Roma, namun dengan tetap mempertahankan tata cara beribadah mereka. Kelompok ini dikenal dengan sebutan Gereja Katolik ritus Timur.

[sunting] Gereja Katolik Roma

Secara umum, sebutan Gereja Katolik merujuk pada Gereja Katolik Roma. Kata Roma diatributkan pada Gereja ini karena Gereja Katolik mengimani Paus yang berkedudukan di kota Roma, Italia sebagai kepala gereja yang kelihatan, wakil Yesus Kristus di bumi, yang merupakan kepala utama gereja yang tak kelihatan. Paus adalah penerus Petrus turun temurun yang tidak terputuskan. Menurut tradisi gereja, Petrus menjadi uskup Roma dan menjadi martir di sana. Gereja Katolik dengan penambahan kata Roma sendiri sebenarnya tidak pernah menjadi nama resmi yang digunakan oleh Gereja Katolik.

[sunting] Sakramen

Gereja Katolik mengajarkan bahwa Yesus Kristus menginstitusikan tujuh sakramen, tidak lebih dan tidak kurang, baik menurut Kitab Suci [8] maupun Tradisi Suci dan sejarah Gereja[9]. Adapun sakramen yang diakui oleh Gereja Katolik Roma sebagai berikut:

Dalam ajaran Katolik, sakramen adalah berkat penyelamatan khusus yang oleh Yesus Kristus diwariskan kepada gereja. Santo Agustinus menyebut sakramen sebagai "tanda kelihatan dari rahmat Allah yang tidak kelihatan"[10].

[sunting] Katolik di Indonesia

Pada 2005, sekitar 3,05%–7.380.203 dari 241.973.879 penduduk Indonesia, beragama Katolik[11].

[sunting] Sumber-sumber

  1. ^ J. H. Srawley. (1900). Ignatius Epistle to the Smyrnaeans. URL diakses pada 24 Juni 2007
  2. ^ "Sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang tertentu, bahwa di hanya tampak seolah-olah menderita, seperti mereka sendiri juga hanya tampak seolah-olah umat [Kristiani]"
  3. ^ "Mereka tidak mengakui bahwa Ekaristi adalah tubuh Penyelamat kita Yesus Kristus, yang menderita sengsara karena dosa-dosa kita, dan yang oleh Sang Bapa, karena kebaikan-Nya, dibangkitkan kembali."
  4. ^ Catechetical Lecture 18 (Ezekiel xxxvii). Trinity Consulting. URL diakses pada 24 Juni 2007
  5. ^ Paul Halsall. (1997). Banning of Other Religions Theodosian Code XVI.i.2. Internet Medieval Sourcebook. URL diakses pada 24 Juni 2007
  6. ^ Augustine of Hippo. (397). Against the Epistle of Manichaeus called Fundamental. Christian Classics Ethereal Library. URL diakses pada 24 Juni 2007
  7. ^ Optatus of Mileve, The Schism of Donatists, 2:2-3 (c.A.D. 367), in GCC,55 , "You cannot deny that you know that in the city of Rome the Chair was first conferred on Peter, in which the prince of all the Apostles, Peter,sat ... in which Chair unity should be preserved by all, so that he should now be a schismatic and a sinner who should set up another Chair against that unique one."
  8. ^ http://www.jesuschristsavior.net/Sacraments.html
  9. ^ http://www.ewtn.com/library/PAPALDOC/JP2SEVEN.HTM
  10. ^ http://www.stjohnadulted.org/The08.doc
  11. ^ International Religious Freedom Report 2004 (US State Department) [1], Adherents.com [2], CIA Factbook [3] dan census.gov[4].
Selengkapnya...

OPINI DEMOKRAZY ALA INDONESIA

Golput, Haram atau Halal?
Oleh Akhmad Zaini *

Ketua MPR Hidayat Nurwahid tentu berniat baik ketika melontarkan usul agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram terhadap sikap tidak memilih dalam pemilu alias golput. Dengan fatwa haram itu, diharapkan Pemilu 2009 ''terselamatkan'' dari ancaman golput.

Sungguh beralasan gagasan tersebut disampaikan. Hanya, benarkah usul itu merupakan jawaban terbaik?

Niat baik tidak selalu berakibat baik pula. Indikator sederhananya, belum apa-apa, gagasan tersebut langsung memantik sikap kontra dari sejumlah kalangan.

***

Tentu banyak yang sepaham bila dikatakan bahwa kian menguatnya sikap golput masyarakat bukan karena mereka tidak lagi mencintai negerinya. Tapi, karena kian tergerusnya rasa kepercayaan rakyat kepada politikus.

Rakyat mulai mengerti, para politikus yang berlaga pada umumnya adalah orang yang sedang mengadu nasib. Mereka mati-matian ingin menjadi kepala daerah atau anggota dewan karena ingin memperbaiki ''taraf hidupnya''.

Rasanya, makin sulit mencari orang yang masuk dalam area politik yang didorong oleh semangat pengabdian. Semangat memberikan darma bakti terbaiknya untuk rakyat.

Fenomena tersebut sangat kentara pada penyusunan daftar calon legislatif (caleg) beberapa waktu lalu. Performa mereka yang berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai caleg tidak jauh berbeda dari mereka yang antre melamar pekerjaan sebagai PNS atau pegawai di perusahaan swasta. Aroma yang kuat tercium, mereka mengajukan lamaran karena ingin mendapatkan penghasilan, bukan ingin mengabdi.

Memang, melalui spanduk dan pamflet yang disebar, mereka menjanjikan pengabdian yang terbaik. Namun, track record mereka acap kali tidak memperkuat janji tersebut. Sebaliknya, mereka dikenal sebagai orang yang egois, ambisius, dan tidak memiliki kepedulian.

Tentu, satu-dua ada yang memiliki track record meyakinkan. Tapi, itu jumlahnya tidak banyak alias langka.

Mereka yang sudah menjadi anggota legislatif juga sering menunjukkan perilaku yang tidak sepatutnya. Saat mayoritas rakyat di negeri ini menjerit karena beban hidup yang kian berat, dengan enaknya mereka menaikkan gaji mereka sendiri. Mereka juga tidak malu membuat program kunjungan ke luar negeri yang kenyataannya lebih banyak berpelesir.

Persoalan menjadi kian rumit karena perjalanan partai-partai yang lahir setelah reformasi 1998 juga banyak yang mengecewakan. Dalam hal ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), di mana Hidayat merupakan salah seorang tokoh pentingnya, juga ikut andil di dalamnya.

Semula, kehadiran PKS memang sempat memberikan kesan berbeda. Namun, belakangan, ada indikasi kurang menggembirakan. Terutama ketika partai itu melalui iklan politik yang mereka tayangkan di sejumlah media beberapa waktu lalu, menganugerahkan gelar pahlawan kepada Soeharto.

Mantan penguasa Orde Baru itu disejajarkan dengan Soekarno, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, M. Natsir, Mohammad Hatta, Jenderal Sudirman, dan Bung Tomo yang kepahlawanannya memang diakui rakyat di negeri ini.

Bersamaan dengan pemberian gelar tersebut, petinggi PKS memang menjelaskan bahwa langkah itu didorong oleh semangat rekonsiliasi. Namun, benarkah hanya itu alasannya? Rasanya, kesan bahwa langkah tersebut diambil demi mengambil hati para pendukung Soeharto yang masih cukup banyak sulit dihindarkan.

Banyak pihak yang membaca bahwa langkah itu dimaksudkan agar pada pemilu mendatang pendukung Soeharto mengalihkan pilihannya ke PKS. Maklum, partai ini sedang bekerja keras mengejar target 15 persen atau 20 persen suara pada pemilu mendatang.

Jika demikian, apa beda PKS dari partai yang lain? Demi mengejar target politik, PKS ''tega'' mengesampingkan roh reformasi. Demi kepentingan politik, idealisme pun tidak apa-apa dinomorduakan.

***

Semua kenyataan tersebut tentu semakin menyulitkan rakyat untuk menjatuhkan pilihan. Karena itu, salahkah bila pada pemilu mendatang mereka memutuskan tidak memilih?

Sikap memilih tentu lebih baik daripada tidak memilih. Namun, terlalu berlebihan bila mereka yang tidak memilih divonis melakukan tindakan haram dan otomatis akan menanggung beban dosa.

Jika mau fair, ancaman dosa itu lebih tepat diberikan kepada politikus yang selama ini mengkhianati konstituennya. Dalam arti, jika harus ada fatwa haram, itu harus ditujukan kepada politikus yang mengabaikan rakyat.

Mereka diharamkan memakan gaji yang diperoleh dari negara bila keputusan-keputusan yang diambil tidak berpihak kepada rakyat yang diwakili. Sebab, pada dasarnya, merekalah yang membuat sebuah pesta demokrasi menjadi tidak menarik untuk diikuti (golput).

Hal itu bisa diumpamakan dengan resepsi yang sebagian besar tamunya tidak mau menyantap makanan yang dihidangkan gara-gara makanan yang tersaji busuk dan berulat. Maka, yang layak dihukumi haram bukan sikap para tamu yang tak mau makan, melainkan si tuan rumah atau panitia yang dengan ''tega'' telah menghidangkan makanan tak layak santap.

''Aksi mogok makan'' tamu undangan tersebut memang sangat mengacaukan kegayengan resepsi. Namun, sungguh tidak pantas bila para tamu itu dijatuhi hukum haram. Sebab, pada dasarnya, bukan mereka yang menjadi biang keroknya.

Semoga MUI bisa arif menyikapi usul tersebut.

* Akhmad Zaini, wartawan Jawa Pos dan koordinator Komunitas Tabayun (e-mail: zen@jawapos.co.id)



Selengkapnya...

Friday, December 5, 2008

End of An Error

Membangun Bangsa Tanpa Bendera

(ilusi membangun negeri tanpa kolusi persembahan Rakyat NTT)


Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai pahlawannya…, pepatah ini baik tetapi tak sempurna. Menghayati dan meneladani sikap-sikap positif para pahlawan yang kita miliki jauh lebih penting dari sekedar menghargai, karena disinilah letak kesetiaan dan loyalitas anak bangsa dalam bernegara yang telah dibangun The Founding Fathers negeri ini. Negara Kesatuan RI yang plural ini, yang memiliki beragam bahasa, etnik, budaya, kepercayaan, agama dan ribuan pulau beserta warna-warninya seharusnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi republik ini. Kini semua tinggal ratapan, negeri ini diambang kehancuran, nasionalisme yang tersulut hanya basa-basi politis yang dipropagandakan politisi busuk yang mementingkan kekuasaan dan kedigdayaan atau dengan kata lain sekedar cari nafkah diparlemen. Realita yang terjadi adalah fakta yang obyektif di saat semua tayangan TV menampilkan kebrobokan semua kasta dalam masyarakat, dari parlemen yang korup, jaksa yang mudah disuap, prilaku asusila dari oknum-oknum DPR , pejabat pemerintah dari pusat hingga ke daerah bahkan garda moral yakni oknum guru pun sudah tertular dengan penyakit masyarakat, dan celakanya lagi, aparat kita sering tebang pilih dalam menangani kasus tersebut. Disharmonisasi dalam sosio-kemasyarakatan kian tampak, meski banyak pameo dari yang bernilai agamis, universal, filsafat-kultural untuk membentengi pesimistisme yang berkembang dalam masyarakat seolah tak lagi memiliki tuah. Hingga bayangan kehancuran yang dimulai dari kanibalisme ekonomi yang menyulut konflik vertical yang diikuti konflik horinsontal tinggal menunggu waktu.

Tentang realitas buram dalam masyarakat kita ditengah bergulirnya roda pembangunan ini Mahatma Gandhi pernah berujar bahwa paling kurang ada tujuh dosa Sosial dalam pembangunan yang menghantui perjalanan sebuah masyarakat 1). Kekayaaan tanpa kerja (Reichtum ohne Arbeit) 2. kenikmatan tanpa hati nurani (Genuss ohne Gewissen) 3). Kesadaran tanpa Karakter (Wissen ohne Charakter) 4. Bisnis tanpa moral ( Geschäft ohne Moral ) 5. Pengetahun tanpa Kemanusiaan. ( Wissenschaft ohne Charakter) 6). Agama tanpa Kurban ( Religion ohne Opfer ) dan 7). Politik tanpa Prinsip ( Politik ohne Prinzipien ) ( Ernst & Engel : Sozial Ethik Konkret , 2006). Ketika ketujuh dosa sosial ini dan juga dosa-dosa sosial lain bekerja secara intens dalam sebuah masyarakat sebagai sebuah organisme maka yang terjadi adalah adanya kanker sosial yang menciptakan masyarakat yang sakit dan miskin.

Machtvorming (pembuatan kuasa) adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita...,dan Karl Marx pernah berpendapat ” tak pernah suatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan kemauan sendiri... (nooit heef een klasse vrijwllig van haar bevoorrechte positie afstand gedaan).., dan ini pun saya tegaskan bahwa selama rakyat NTT belum mengadakan suatu macht yang maha sentausa dan selama rakyat itu belum bisa mendorongkan semua kemauaannya dengan suatu kekuasaan yang teratur dan tersusun, maka selama itu imperalis yang mencari keuntungan sendiri akan tetap memandang bangsa NUSA TENGGARA TIMUR bak seekor kambing penurut dan terus mengabdikan segala tuntutannya...

Kemakmuran yang bermartabat adalah harga mati bagi rakyat NTT. Kemakmuran yang didapatkan karena belas kasihan dari bangsa lain adalah sebuah kesalahan terbesar terhadap nenek moyang kita.. End of an Error (mengakhiri sebuah kekeliruan) sejarah....NTT yang sgalanya ada haruslah kita olah, kita rawat dan kita lestarikan..Mari kita bangun dengan penuh kesadaran dan rasa persaudaraan dengan menepis segala ketamakan yang pada akhirnya hanya menyengsarakan rakyat FLOBAMORA. Sebuah keyakinan dalam berjuang sangatlah diperlukan apalagi ketika kita membutuhkan suatu dukungan moril. Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena keinginan akan hidup layak dan sempurna. Kita bergerak tidak karena ” ideal” saja. Kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup minum, seni dan kultur – pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib didalam segala bagian-bagian dan cabang-cabangnya.

Jika ditilik pada kondisi saat ini, rakyat NTT sudah jemu dengan sgala ketimpangan situasional yang terjadi, seperti kasus korupsi: dan menurut laporan ICW dan publikasi liputan 6 Siang yang ditayangkan SCTV tanggal 28 November 2008 tertulis Kota Maumere merupakan Kabupaten Terkorup no 1 di Indonesia karena menduduki peringkat 1. Ironis daerah yang terkenal karena rawan pangan justru surprise dengan kasus korupsinya yang mungkin takkan pernah terungkap dan tidak dipungkiri kebijakan Top– Down masih berlangsung (terkesan merugikan karena menjadi pilot project sebuah proyek raksasa yang fiktif dan penuh manipulir). Jadi tak salah jika suatu ketika terjadi revolusi sosial kalau kondisi sedemikian rupa terus berlangsung. Dan wajar kalau rakyat marah dan wajar rakyat memberontak karena hukum telah berpihak dan bukan ditegakkan. Perjuangan rakyat NTT masihlah berat, butuh keberanian, pengorbanan yang tak sedikit. Mengembangkan wawasan dan citra diri yang sesungguhnya untuk melawan suatu kejahatan yang maha hebat di bumi Flobamora. Martabat rakyat NTT telah diinjak-injak oleh oknum aparatur negara. Rakyat NTT tak lelah untuk berjuang, Rakyat tak lelah bersuara, rakyat NTT takkan berhenti dalam membuka ruang peradabannya dan kita sedang mengawalinya.

Sebelum revolusi kemerdekaan RI tahun 1945, atau tepatnya tahun 1921 berdiri sebuah organisasi di Kupang dengan nama TIMOR VERBOND (Perserikatan Timor) yang bertujuan ” Memajukan masyarakat Nusa Tenggara serta meningkatkan pembangunan dan pengembangan spiritual dan moralitas rakyat serta memajukan keejahteraan mereka”. Semangat persatuan yang diwariskan organisasi ini telah ditelanjangi oleh UU yang disahkan oleh DPR beberapa kurun waktu yang lalu seperti: UU Peradilan Agama 1992, UU Susdiknas 2002 dan yang terakhir UU Pornografi 2008. Produk UU ini diyakini telah menyakiti rakyat NTT karena disinyalir berpihak pada komunitas tertentu yang ingin menegakkan hukum syariah sebagai hukum negara, dan secara perlahan ingin mengganti ideology Pancasila.. Apa yang benar adalah bahwa pemahaman kita tentang berbagai persoalan tersebut selalu bersifat sebagian dan subyektif, dengan kejadian yang lebih bersumber dari kebutuhan kita, untuk memaksakan suatu jenis keteraturan intelektual pada kebingungan yang merebak diantara kita, ketimbang dari realitasnya sendiri.

Ilustrasi perjuangan rakyat NTT kali ini mengingatkan kita pada ucapan salah satu pejuang Kemerdekaan Timor Leste yaitu Uskup Carlos FX Bello, beliau pernah berkata ” kami sendiri berjuang untuk integrasi, tetapi bukan integrasi seperti sekarang ini melainkan integrasi yang lebih bermartabat. Saya kira semua aspirasi haruslah didengar dan dibicarakan............” andai merdeka memang sebuah pilihan !

Mikael Risdiyanto SB

(Wartawan Warta Nasional Jakarta)

Biro - NTT

Selengkapnya...