Monday, December 15, 2008

OPINI DEMOKRAZY ALA INDONESIA

Golput, Haram atau Halal?
Oleh Akhmad Zaini *

Ketua MPR Hidayat Nurwahid tentu berniat baik ketika melontarkan usul agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram terhadap sikap tidak memilih dalam pemilu alias golput. Dengan fatwa haram itu, diharapkan Pemilu 2009 ''terselamatkan'' dari ancaman golput.

Sungguh beralasan gagasan tersebut disampaikan. Hanya, benarkah usul itu merupakan jawaban terbaik?

Niat baik tidak selalu berakibat baik pula. Indikator sederhananya, belum apa-apa, gagasan tersebut langsung memantik sikap kontra dari sejumlah kalangan.

***

Tentu banyak yang sepaham bila dikatakan bahwa kian menguatnya sikap golput masyarakat bukan karena mereka tidak lagi mencintai negerinya. Tapi, karena kian tergerusnya rasa kepercayaan rakyat kepada politikus.

Rakyat mulai mengerti, para politikus yang berlaga pada umumnya adalah orang yang sedang mengadu nasib. Mereka mati-matian ingin menjadi kepala daerah atau anggota dewan karena ingin memperbaiki ''taraf hidupnya''.

Rasanya, makin sulit mencari orang yang masuk dalam area politik yang didorong oleh semangat pengabdian. Semangat memberikan darma bakti terbaiknya untuk rakyat.

Fenomena tersebut sangat kentara pada penyusunan daftar calon legislatif (caleg) beberapa waktu lalu. Performa mereka yang berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai caleg tidak jauh berbeda dari mereka yang antre melamar pekerjaan sebagai PNS atau pegawai di perusahaan swasta. Aroma yang kuat tercium, mereka mengajukan lamaran karena ingin mendapatkan penghasilan, bukan ingin mengabdi.

Memang, melalui spanduk dan pamflet yang disebar, mereka menjanjikan pengabdian yang terbaik. Namun, track record mereka acap kali tidak memperkuat janji tersebut. Sebaliknya, mereka dikenal sebagai orang yang egois, ambisius, dan tidak memiliki kepedulian.

Tentu, satu-dua ada yang memiliki track record meyakinkan. Tapi, itu jumlahnya tidak banyak alias langka.

Mereka yang sudah menjadi anggota legislatif juga sering menunjukkan perilaku yang tidak sepatutnya. Saat mayoritas rakyat di negeri ini menjerit karena beban hidup yang kian berat, dengan enaknya mereka menaikkan gaji mereka sendiri. Mereka juga tidak malu membuat program kunjungan ke luar negeri yang kenyataannya lebih banyak berpelesir.

Persoalan menjadi kian rumit karena perjalanan partai-partai yang lahir setelah reformasi 1998 juga banyak yang mengecewakan. Dalam hal ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), di mana Hidayat merupakan salah seorang tokoh pentingnya, juga ikut andil di dalamnya.

Semula, kehadiran PKS memang sempat memberikan kesan berbeda. Namun, belakangan, ada indikasi kurang menggembirakan. Terutama ketika partai itu melalui iklan politik yang mereka tayangkan di sejumlah media beberapa waktu lalu, menganugerahkan gelar pahlawan kepada Soeharto.

Mantan penguasa Orde Baru itu disejajarkan dengan Soekarno, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, M. Natsir, Mohammad Hatta, Jenderal Sudirman, dan Bung Tomo yang kepahlawanannya memang diakui rakyat di negeri ini.

Bersamaan dengan pemberian gelar tersebut, petinggi PKS memang menjelaskan bahwa langkah itu didorong oleh semangat rekonsiliasi. Namun, benarkah hanya itu alasannya? Rasanya, kesan bahwa langkah tersebut diambil demi mengambil hati para pendukung Soeharto yang masih cukup banyak sulit dihindarkan.

Banyak pihak yang membaca bahwa langkah itu dimaksudkan agar pada pemilu mendatang pendukung Soeharto mengalihkan pilihannya ke PKS. Maklum, partai ini sedang bekerja keras mengejar target 15 persen atau 20 persen suara pada pemilu mendatang.

Jika demikian, apa beda PKS dari partai yang lain? Demi mengejar target politik, PKS ''tega'' mengesampingkan roh reformasi. Demi kepentingan politik, idealisme pun tidak apa-apa dinomorduakan.

***

Semua kenyataan tersebut tentu semakin menyulitkan rakyat untuk menjatuhkan pilihan. Karena itu, salahkah bila pada pemilu mendatang mereka memutuskan tidak memilih?

Sikap memilih tentu lebih baik daripada tidak memilih. Namun, terlalu berlebihan bila mereka yang tidak memilih divonis melakukan tindakan haram dan otomatis akan menanggung beban dosa.

Jika mau fair, ancaman dosa itu lebih tepat diberikan kepada politikus yang selama ini mengkhianati konstituennya. Dalam arti, jika harus ada fatwa haram, itu harus ditujukan kepada politikus yang mengabaikan rakyat.

Mereka diharamkan memakan gaji yang diperoleh dari negara bila keputusan-keputusan yang diambil tidak berpihak kepada rakyat yang diwakili. Sebab, pada dasarnya, merekalah yang membuat sebuah pesta demokrasi menjadi tidak menarik untuk diikuti (golput).

Hal itu bisa diumpamakan dengan resepsi yang sebagian besar tamunya tidak mau menyantap makanan yang dihidangkan gara-gara makanan yang tersaji busuk dan berulat. Maka, yang layak dihukumi haram bukan sikap para tamu yang tak mau makan, melainkan si tuan rumah atau panitia yang dengan ''tega'' telah menghidangkan makanan tak layak santap.

''Aksi mogok makan'' tamu undangan tersebut memang sangat mengacaukan kegayengan resepsi. Namun, sungguh tidak pantas bila para tamu itu dijatuhi hukum haram. Sebab, pada dasarnya, bukan mereka yang menjadi biang keroknya.

Semoga MUI bisa arif menyikapi usul tersebut.

* Akhmad Zaini, wartawan Jawa Pos dan koordinator Komunitas Tabayun (e-mail: zen@jawapos.co.id)



No comments: