Sunday, December 21, 2008

Sebuah Kesaksian

Menanggapi Penantian Tuhan
(Kesaksian dimuat pada Majalah Hidup Edisi No. 16 Tahun ke 60 - 16 April 2006)

Udara dingin kian menggigit Kota Yerusalem sewaktu senja menyelinap. Sementara dahan-dahan sekawanan pohon zaitun berayun diterpa angin kencang, Rosita Wibissana melintasi Taman Getsemani.

Rosita Wibissana

· Berkat Tuhan yang tak terlupakan
dalam hidup saya saat si sulung
sembuh dari sakit tulang
punggung berkepanjangan

· Kerinduan saya berziarah
terjawab pada Maret 2006, saya
berangkat ke Tanah Suci

· Setelah berziarah, murid-murid
kursus menjahit yang saya kelola
bertambah

IA bergegas melangkah ke dalam gereja, ingin lekas menjaring seberkas kehangatan. Begitu ia duduk di kursi, kantuk menyerbu. Dengan sekuat hati ia berupaya tetap membuka mata… Tiba-tiba, Rossita melihat bayangan seorang wanita berkerudung melayang di depannya. “Saya langsung limbung hampir jatuh… sampai dipegangi orang di sebelah saya,” ucap warga Paroki Bunda Maria Cirebon ini. Seraya mengerjap-ngerjapkan pelupuk matanya, Rosita menatap altar yang tersiram cahaya lampu. Lalu, ia menindih berlarik-larik rasa di batinnya tentang apa yang baru saja melintas. Dan, ia membiarkannya terekam sebagai kenangan tersendiri. “Pengalaman itu paling mengesan buat saya selama berziarah ke Tanah Suci,” ujar wanita yang berziarah bersama Stella Kwarta Wisata, 8-18/3 lalu. Ternyata, setelah kembali ke Tanah Air, penyelenggara Kursus Menjahit “Nany” di Jl Dr Cipto Mangunkusumo, Cirebon ini merasakan aliran berkat dalam usahanya. Berbagai proyek, yang sebelumnya ia ajukan, lolos. “Saya juga mendapat bantuan dana dari APBD Diknas yang selama ini tidak pernah saya peroleh,” ujarnya gembira.

Sangat berisiko
Jauh-jauh hari sebelum berangkat ke Tanah Suci, Rosita kerap merasakan kucuran berkat dari Tuhan. Salah satunya, yang tak akan terlupakan, saat anaknya sembuh dari sakit tulang punggung berkepanjangan. Suatu hari si sulung Antonius Yuwono kesakitan bila berjalan. Rosita dan suaminya pun mengupayakan pengobatan ke berbagai tempat. Dokter ahli tulang mendiagnosa, tulang punggung Anton bergeser tak keruan. “Anton harus dioperasi dari tengkuk hingga tulang ekornya untuk membenahi ruas-ruas yang berantakan,” kenang Rosita. Operasi itu sangat berisiko karena bisa menyebabkan kelumpuhan. Dalam kepungan galau, Rosita meningkatkan doa-doanya. Bahkan, untuk pertama kali, ia mengikuti retret WKRI di Wisma Pratista, Bandung. “Seusai retret saya mengajak Anton berobat alternatif ke Pastor H. Loogman MSC di Purworejo,” lanjut aktivis WKRI Cirebon ini. Melalui Pastor Loogman, akhirnya penyebab Anton sakit ketahuan. “Sebelumnya, ia pernah terjatuh sewaktu main basket. Akibatnya, ruas-ruas tulang punggungnya bergeser,” urai Rosita. Karena Anton kuliah di Bandung, Pastor Loogman memintanya melanjutkan pengobatan pada Liliana Indrajaya di Bogor. “Setiap pagi dan sore saya mengurutnya dengan jamu dari Ibu Liliana.” Doa-doa dan ketelatenan Rosita akhirnya membuahkan hasil: Anton pulih seperti sediakala. Rosita sungguh mensyukuri peristiwa tersebut.

Ke Tanah Suci
Awal 2006, Rosita ingin sekali berziarah ke Lourdes. Karena tak ada teman yang mau ke sana, ia mengurungkan keinginannya. Medio Januari, rekan seorganisasi di WKRI mengajaknya berziarah ke Tanah Suci. “Karena memang niat berziarah, ajakan Bu Sri Harti saya terima,” lanjut Rosita. Saat itu kaki kiri Rosita sedang bermasalah. “Ada pengapuran,” ungkapnya. Akibatnya, ia tak sanggup berjalan jauh. Nyeri kerap menyengat tulangnya. Keinginan berziarah membuatnya segera berobat ke dokter ahli tulang. Selama beberapa waktu Rosita harus mengonsumsi obat. Selain itu, untuk rencana kepergiannya, dokter memberikan vitamin agar Rosita mampu menangkal udara dingin. Awal Maret, Rosita bersama tiga rekannya dari Paroki Bunda Maria Cirebon: Seraphine Dharmawan, Sri Harti, dan Tien Suhartinah bersiap-siap berangkat ke Tanah Suci.

Sederet lansia
Dengan kondisi tulang yang tidak prima, Rabu, 8/3/2006, Rosita dkk bergabung dengan peserta ziarah Stella Kwarta Wisata lainnya. Ia langsung terkesan dengan ikut sertanya belasan lansia. Seorang peserta asal Pontianak Ny Veronica Lay Nga Djin sudah berusia 86 tahun. Begitu pula Ny Seniwati Anwar yang berusia 75 tahun masih tampak gagah melangkah dengan tongkatnya. Meski tubuh telah renta dipahat jejak waktu, mereka masih rindu menapak tilas jalan Tuhan. “Melihat mereka saya jadi makin bersemangat,” ujar wanita berusia 64 tahun ini. Selama perjalanan, sesekali rasa nyeri masih mengusik lutut kiri Rosita. “Saya sempat minum obat pada hari ketiga dan kelima ziarah karena kaki saya sakit,” aku ibu tiga anak ini. Sejak awal pemandu ziarah F. Asmi Arijanto telah mengingatkan, tak mudah mencapai Tanah Terjanji. Proses imigrasi dan bea cukai di Kota Taba, daerah perbatasan Mesir dan Israel, sangat ketat. Petugas setempat membongkar-bongkar koper dan tas jinjing peserta ziarah. Syukurlah, Rosita tak mengalami hambatan berarti. “Hanya saja karena harus berjalan jauh, saya merasa lelah. Tetapi orang lain tidak tahu, kaki kiri saya sedang bermasalah.”

Seperti Zakheus
Sebagaimana hakikat berziarah, Arijanto mengajak peserta mencari Tuhan lebih jauh seperti Zakheus harus memanjat pohon tinggi. “Cecaplah seluruh pengalaman rohani selama di Tanah Suci,” kata tamatan STF Driyarkara Jakarta ini. Rosita pun berusaha mencecap seluruh pengalaman di St Katarina, Qumran, Benteng Massada, Nasaret, Danau Galilea, Tiberias, Kana, Bukit Sabda Bahagia, Kapernaum, Tabhga, Sungai Yordan, Gunung Tabor hingga Yerusalem…. Senin, 13/3, di Gereja Kana dalam Misa konselebrasi yang dipersembahkan Pastor Greg Soetomo SJ, Pastor Stanislaus Sutopanitro Pr, dan Pastor Petrus Tunjung Kesuma Pr, belasan pasutri mengulang kembali janji perkawinan mereka. Karena tak mengajak suami, Rosita hanya bisa menatap mereka dalam selimut haru. Sementara sang suami berada nun jauh di Cirebon…. Selasa, 14/3, peserta diajak ke Gunung Tabor, tempat transfigurasi Yesus di antara Nabi Musa dan Nabi Elia. Di tempat ini peserta mengumpulkan surat-surat cinta untuk Tuhan, titipan handai-taulan di Tanah Air. “Saya menitipkan surat dari putri saya,” ujar Rosita. Dalam perjalanan pulang, supir oplet menanyakan negara asal peserta. “Wow Indonesia, Abu Bakar Ba’asyir!” komentarnya spontan. Ketika menikmati ikan Santo Petrus di sebuah restoran di pinggir Danau Galilea, Rosita mengatakan. “Ini mah ikan mujair!” Di Betlehem, seusai melihat gua kelahiran Yesus, gigi depan Rosita sakit. Ia berobat pada dokter gigi, relasi seorang pastor Gereja Ortodoks, kenalan Arijanto. “Ternyata menempel giginya lebih bagus dari dokter gigi di Indonesia. Gratis lagi!” ucapnya.

Giliran pertama
Puncak peziarahan adalah saat menyusuri Jalan Derita Via Dolorosa menuju Makam Suci di Golgota. Keseriusan rombongan sempat cair tatkala seorang penduduk menyeletuk, “Hi, is Jacky Chan with you?” Rupanya paras oriental kebanyakan peserta membuat pemuda itu mengira Rosita dkk sebangsa dengan Jacky Chan. Rosita mendapat giliran pertama memanggul salib bersama Ketua Puteri Santa Angela Jakarta Linda Gunawan. Di perhentian ketujuh, Rosita memimpin doa. “Karena sudah tua dan berjalan menanjak, saya agak ngos-ngosan,” tambahnya. Karena ingin diabadikan sebagai kenang-kenangan, Rosita kembali memanggul salib di perhentian terakhir. “Tapi sayang, saya lupa membeli potretnya…,” keluhnya menyesal. Selama sepuluh hari, Rosita dan peserta ziarah lainnya dikondisikan banyak berdoa di puluhan lokasi. Di Kota Yerusalem saja belasan lokasi mereka ziarahi: Gereja Kelahiran Yesus di Betlehem, Tembok Ratapan, Kolam Bethesda, Bukit Zaitun, Gereja Bapa Kami, Gereja Dominus Flevit, Taman Getsemani, Via Dolorosa, Bukit Sion, Gereja Bunda Maria Tertidur, dan Gereja Ayam Berkokok. Peziarahan dituntasi di Gunung Nebo, Yordania tampat Nabi Musa hanya bisa melihat Tanah Terjanji dari kejauhan. Dalam buku The Holy Places Today, M. Basilea Schlink mengungkapkan, Israel dewasa ini penuh hiruk-pikuk. Tempat sengsara dan wafat Yesus misalnya, kini tertutup oleh berbagai bangunan dan gereja yang tidak memberi kesan jelas tentang apa yang terjadi semasa Yesus hidup. “Namun Yesus yang pernah hidup, bersabda, dan melakukan mukjizat-mukjizat di Yerusalem maupun di seluruh Galilea tetap menantikan umat-Nya di tempat Ia pernah hidup dan berkarya,” demikian Schlink. Usai ziarah, kegembiraan Rosita tumpah. Sebagaimana kata Schlink, ia telah menanggapi penantian Tuhan di Tanah Terjanji. Kini serpihan rindu kembali terserak di hatinya. “Saya ingin ke Lourdes,” harapnya.

Maria Etty, Hidup 2006

No comments: